Dokumentasi penulis

Penulis : A.Adzaryun Iftitah Afdha (Siswa SMAN 11 Bulukumba)

Pada Zaman dahulu kala, wilayah ujung timur Bulukumba yang dijuluki  Butta Panrita Lopi dilanda musim kemarau panjang. Kekeringan hampir melanda seluruh wilayah. Hujan tidak pernah turun menyebabkan lahan pertanian gagal panen. Para barumbung berkumpul untuk membicarakan solusi masalah kekeringan. Para barumbung berkeliling ke seluruh penjuru negeri untuk mencari pawang hujan

Barumbung : “ Tolong bantu kami untuk menurunkan hujan “!!

Pawang Hujan  : “Baiklah tapi ada persyaratan yang harus kalian penuhi. Siapkan semua bahan sesajen yang berisi daging ayam hitam, daun siri, beras ketan hitam “!!

Barumbung  : “ Kapan kami bawa semua persyaratannya “!!

Pawang Hujan  : “ Malam jumat saat bulan purnama “!!

Para barumbung dan warga turut menyaksikan ritual yang dilakukan di sebuah lapangan. Aroma kemenyam yang tercium ke seluruh penjuru. Selama beberapa hari mereka menunggu hasil ritual pawang hujan, namun barumbung dan warga akhirnya kecewa. Sudah puluhan pawang hujan yang didatangi oleh barumbung, akan tetapi keadaan kekeringan ini tetap berlanjut.

Barumbung dan warga mulai dilanda kegelisahan dengan kondisi lahan yang kekeringan. Ditengah suasana kepanikan akibat ancaman kelaparan, terdengarlah suara gelegar petir disiang hari yang terik saat itu. Tanah ikut bergetar seperti terjadi gempa. Pelangi cantik terlihat bersinar, dimana pada ujung pelangi tersebut terdapat cahaya yang terang. Ujung pelangi juga memancarkan cahaya putih diatas bukit yang cukup tinggi sedangkan ujung satunya sampai ke suatu wilayah dengan hamparan hutan di Desa Ammatoa Kajang .

Barumbung dan warga berama-ramai mendatangi sumber suara dan pelangi yang cantik itu.   Mereka berlari ke atas bukit. Mereka kaget karena melihat ada sosok lelaki yang duduk di atas batu. Seluruh  badan lelaki itu  memancarkan  cahaya. Kemudian terjadilah percakapan antara orang yang memancarkan cahaya tersebut dengan Barumbung . Warga turut menyaksikan percakapan itu :

Barumbung  : “Wahai Tumanurung, Anda ini siapa dan apa tujuan anda disini ?“

I Toa  : “ Namaku I Toa Buru’ne , saya berasal dari atas langit  “.

Barumbung  : “ Apa yang anda lakukan diatas bukit ini dan mau kemana ? “

I Toa  :  “ Saya sedang menunggu istriku I Hulaeng Mapute   dari Possi Tanah itu    dan Tiro   i  adik perempuanku diseberang sana … Kamase mase  kodong      

Setelah peercakapan yang lama itu, kemudian muncullah perempuan cantik dari possi tana yang merupakan  istri I Toa Buru’ne .  Perempuan itu Bernama Hulaeng Mapute  yang di beri gelar oleh orang Tiro “  Bunga Biraeng Na Possitana.”

Ditengah suasana kesulitan, maka muncullah inisiatif Barumbung dan warga. Mereka sepakat untuk meminta bantuan kepada I Toa.

Barumbung  : “ Jika betul  anda berasal dari langit, tolong turunkan hujan di wilayah kami ini “

I Toa  : “ Aku tidak bisa memastikan untuk menurunkan hujan, tapi aku akan berusaha dan jika aku mampu menurunkan hujan apa balasan kalian ? “

Barumbung  : “ Jika kau mampu menurunkan hujan maka kami akan mengangkatmu sebagai  raja kami “

I Toa  : “ Baiklah saya akan bantu tapi ada beberapa  syaratnya  ”

Barumbung  : “ Apa Syaratnya ? “

I Toa  : “ Kalian harus siapkan kerbau yang paling gemuk tanpa cacat dengan tanduk yang melingkar panjang serta kumpulkanlah semua orang dengan membawa alat makan, alat pertanian dan gendang  batu.”  

Demi menurunkan hujan, maka para Barumbung dan rakyat bahu membahu untuk menyiapkan persyaratan dari I Toa. Barang yang diminta I Toa dikumpulkan oleh warga, akan tetapi ada satu benda yang tidak ada di wilayah itu yaitu gendang yang terbuat dari batu. Mereka lalu mencari gendang batu keseluruh wilayah bukit dan pantai, akan tetapi usaha mereka ternyata sia-sia. Kemudian  diutuslah satu orang Barumbung untuk menyampaikan masalah itu kepada I Toa.

Barumbung   : “ Wahai tumanurung ada satu  persyaratan   yang tidak mampu kami  bawakan yaitu gendang dari batu ” 

I Toa  : “ Tidak menjadi permasalahan kalau hanya itu yang tidak kalian sanggupi,biarlah aku yang akan mengusahakan gendang batu tersebut.  Aku akan bersemedi untuk meminta kepada penguasa langit agar menurunkan gendang batu yang ada di langit ”

Barumbung yang menjadi perantara dengan I Toa. kemudian menyampaikan hasil percakapannya  kepada para Barumbung dan warga lainnya. Mereka  melakukan pembagian tugas. Sebagian warga melakukan pengadaan alat . Sebagain lagi mempersiapkan bahan sesajen sebagai  persyaratan  untuk mengadakan  upacara minta hujan. Barumbung  memerintahkan semua rakyat di wilayahnya masing-masing  agar datang ke Tempat I Toa. Keesokan harinya mereka membawa peralatan makan dan alat pertanian. Kerbau yang diinginkan oleh I Toa Buru’ne  telah di siapkan.

Pada Malam hari,  I Toa akhirnya bersemedi dan memperoleh petunjuk bahwa gendang tersebut  bisa diturunkan dari langit.  Gendang tersebut akhirnya jatuh disuatu tempat  yang diberi nama Salu-Salu sampai sekarang .

Turunnya gendang dari batu tersebut diiringi oleh seorang pengiring yang akan memukul gendang tersebut. Orang yang mengiringi gendang tersebut di beri nama Panrita Pa’Pikatu. Pada pagi hari Barumbung menghadap lagi ke I Toa :

Barumbung :  “ Wahai I Toa apakah gendang dari batu itu sudah siap?“

I Toa : “ Iya silahkan perintahkan wargamu ke bukit yang di seberang sana 

Barumbung :  “Wahai I Toa apakah di sana tempat gendang batu itu ?“

I Toa : “Iya, atas kebesaran to tamma lino ( Tuhan )  maka gendang itu telah ada utuslah orangmu ke bukit itu , utusan itu harus mambawa kain yang panjang dan lebar serta membawa ayam.  Sampaikan juga salamku kepada panrita pa’pi katu bunyinya “ I Toa ri pa’tiroang tamma toa ri tan jatamma labiri ri pau-pau tamma lolo ri panggaukang….tammma pi katu ri cappa lila lanring na tajang na pan rita Pa’ pikatu ”

( I Toa di tempat tertinggi, jangan hanya tua karena wajah sementara ucapan tidak berbobot, jangan juga merasa muda dan gagah sehingga segala tindak tanduk mudah diucapkan oleh lidah jika perasaan dan tindakan tidak menyatu, yang mampu menyampaikan pesan hanya Panrita Pa’pikatu ).

Beberapa orang diutus ke tempat gendang batu tersebut sesuai petunjuk I Toa. Ketika utusan itu akan  sampai mereka kaget karena bertemu dengan utusan dari Kamase-mase a. akhirnya mereka bersama-sama menghadap ke tempat gendang itu. Sesampainya di bukit:

Panrita Pa’pikatu : “ Siapa Kalian ? “

Utusan : “ I Toa ri pa’tiroang tamma toa ri tan ja tamma labiri ri pau-pau tamma lolo ri panggaukang. tamma pi katu ri cappa lila lanring na tajang na pan rita Pa’ pikatu….”

Utusan Kamase-masea :  “ Kamase ma sea malolo ri tanja  tamma lolo ri panggaukang tamma pi katu ri cappa lila lanring na tajang na pan rita Pa’ pikatu ”

( Tua di tempat tertinggi, tapi jangan hanya tua karena wajah sementara ucapan tidak berbobot jangan juga muda dan gagah sehingga segala tindak tanduk di mudahkan, seharusnya tidak berucap di lidah jika perasaan dan tindakan tidak menyatu, yang mampu menyampaikan pesan hanya Panrita Pa’pikatu ).

Panrita Pa’Pi katu : “ Pa’pikatu ri anging pa’mai jannang ri nyaha. toa kamase mase a na i kamase-mase a a toa salu papikatu naku salu ri salu ma’salu. ( Pesan akan kusampaikan lewat angin ke semua mahluk yang bernyawa . I Toa dan Kamase-masea bersaudara, tidak bisa di pisahkan pesan ini harus pasti dan yang mendengarkan adalah orang yang layak ).

Warga yang menjadi utusan diperintahkan untuk menutup gendang batu menggunakan kain. Gendang tersebut dibungkus dengan dua warna yaitu pembungkus warna putih milik utusan dari I Toa dan pembungkus warna hitam milik utusan dari Kamase-masea. Setelah gendang tersebut di bungkus maka ke dua utusan itu diperintahkan untuk melakukan upacara penyembelihan hewan. Mereka juga harus mengelilingi gendang tersebut sebanyak tiga kali. Ritual doa dilakukan oleh I Toa. Beberapa hari kemudian terjadilah sebuah keajaiban. Hujan lebat terjadi selama beberapa hari sehingga warga dan para barumbung bersuka cita. Para warga melakukan perayaan dengan memotong kerbau dan makan bersama. Sebagai rasa syukur kepada sang pencipta.  Turunnya hujan membuat para warga dan barumbung kembali bertani. Hasil panen melimpah membuat warga semakin makmur.

Setelah beberapa tahun Barumbung dan warga mulai terlena dengan melimpahnya hasil pertanian. Mereka mulai meninggalkan pesan I Toa. Kegiatan perjudian, mabuk-mabukan, sabung ayam terjadi dimana-mana. Warga memiliki sifat serakah dan melupakan ajaran I Toa. Perilaku masyarakat membuat I Toa marah, maka kejadian aneh terjadi yaitu  I Toa Buru’ne, Istri dan saudaranya kemudian menghilang. Gendang Batu atau Batu Ganrang juga kehilangan nilai magisnya. Gendang batu milik I Toa tidak dapat lagi digunakan Barumbung dan warga untuk memanggil hujan. Batu Ganrang kini hanya menjadi bongkahan batu biasa karena tidak ada lagi keajaiban dari I Toa. Para barumbung dan warga pun menyesal karena perilaku menyimpan dari ajaran I Toa. Mereka kini tidak lagi mengandalkan hasil bertani. Kepergian I Toa menurut mereka hanya sementara dan akan kembali bersama keturunannya suatu saat nanti di wilayah mereka. Barumbung dan warga sepakat bahwa pemerintahan selanjutnya akan diserahkan kepada keturunan I Toa jika kelak menginjakkan kaki ke wilayah mereka.

Narasumber :

  1. “Legenda batu ganrang”. Hasil wawancara pribadi bersama Bapak Ardi : 14 juli 2024, Salu-Salu Kecamatan Bontotiro Kabupaten Bulukumba
  2. “Legenda batu ganrang”. Hasil wawancara pribadi bersama Bapak A.Mappanyulle: 18 juli 2024, Bontotangnga Kecamatan Bontotiro Kabupaten Bulukumba

 

Sumber Internet :

https://jejaktokoh.com/inspirasi/perjuangan-dan-pendidikan-di-tanah-cadas-kisah-sukses-dari-bontotiro-bagian-2/

https://smpn29bulukumba.blogspot.com/2015/12/sejarah-tiro-dari-i-toa-hingga-karaeng.html

https://www.tiktok.com/@mitologi.bumisulawesi/video/7314570423847472389

https://wartabulukumba.pikiran-rakyat.com/wisata/pr-876593768/buhung-labbua-di-bontotiro-bulukumba-mata-air-abadi-dari-tongkat-dato-ri-tiro?page=all